Senin, 12 Juli 2010

JABATAN ADALAH AMANAH

Pemilihan umum Kepala Daerah di seluruh persada nusantara kini terselenggara semakin seru. Konstalitas politik yang saling terkam,saling cakar, saling tendang dan mungkin juga saling rangkul.
Hiruk pikuk pilkada senantiasa menyertai agenda lima tahun pesta demokrasi. Semangat berkompetisi dengan dilandasi sportivitas, disisi lain ada nuansa saling menyikut, saling menjatuhkan dengan menghalalkan segala cara, demi untuk meraih jabatan.
Aspek penting dalam pemilihan Kepala Daerah secara langusng adalah para pemilih bias secara langsung menyatukan aspirasi, memilih Kepala Daearah sesuai dengan keinginannya.
Menjadi pemimpin bukan semata-mata kemenangan karena terpilih, tetapi lebih itu, sebagai a,manah yang akan dipertanggungjawabkan di hadapan Allah SWT. Pimpinan adalah cerminan dari keadaan masyarakatnya. Pemimpin yang baik adalah dia yang dapat menangkap aspirasi masyarakatnya. Sedangkan masyarakat yang baik adalah yang berusaha mewujudkan pimpinan yang dapat menyalurkan aspirasi mereka.
Memilih adalah amanah jabatan yang diberikan oleh pemilih dan diterima oleh yang terpilih juga amanat.
Dalam Al-Quran ada perintah menunaikan amanat kepada pemiliknya, disusul dengan perintah menetapkan putusan yang adil, kemudian dilanjutkan dengan perintah taat kepada Allah, Rasul dan Uli Amr ( mereka yang memiliki wewenang mengelola urusan masyarakat yaitu para pejabat pemerintah ):




Al Quran surat An-Nisaa Ayat 58.

Perurutan uraian ayat tersebut menjadi petunjuk bahwa jabatan serta wewenang kebijakan dan pengelolaan, merupakan amanat yang bersumber dari Allah, melalui orang banyak atau masyarakat dan bahwa mereka mempunyai hak untuk memilih sendiri siapa yang mereka inginkan untuk maksud tersebut.
Dalam suatu kesempatan, Rasulullah SAW bersabda: “Jika amanah disia-siakan tunggulah saat kehancuran”.
Sahabat bertanya,” Bagaimana menyia-nyiakan amanah itu?”
Beliau menjawab: Jika urusan diserahkan kepada yang bukan ahlinya, maka tunggulah saat kehancurannya.” (HR Bukhari ).
Menurut Imam Al-Ghazali, pangkat dan kekuasaan adalah saudara kembar harta dan kekayaan. Keduanya bagaikan duda sisi mata uang yang sama . Dan Keduanya merupakan unsure utama kenikmatan dunia. Hanya penguasa yang beriman, amanah, jujur dam adil yang akan mampu menepis godaan kekuasaan dan kekayaan dari potensi penyalahgunaan untuk kepentingan pribadi dan kelompoknya.
Salah satu tanda orang beriman adalah apabila mendapatkan amanah berupa kekuasaan, ia memanfaatkannya sebagai sarana mendekatkan diri kepada Allah SWT dan hamba-hambaNya. Baginya, kianat terhadap amanah bukan saja merupakan pengkhianatan terhadap rakyat, namum juga pengkhianatan terhadap Allah SWT.
Khalifah Abu Bakar dalam pidato pertamnya sebagai pemimpin umat membuka diri untuk dikoreksi jika ia bertindak atau mengambil kebijakan yang tidak tepat. Demikian pula dengan khalifah Umar bin khatab. Ia siang diingatkan dengan tajamnya pedang jika kepemimpinannya melanggar aturan.
Jabatan adalah amanah. Ketika Abu Dzar meminta suatu jabatan, Nabi Muhammad SAW bersabda:”Itu adalah amanah, ia adalah nista dan penyesalan di hari kemudian, kecuali yang menerimanya dengan hak (sesuai aturan mainnya, dan menunaikan kewajibannya )”
Dalam salah satu sabdanya, rasulullah SAW menyebut tiga dari sekian sifat yang harus dimiliki oleh pejabat yaitu ketaqwaan yang menangkal pelanggaran, kelaparan dada yang melahirkan simpati, dan kemampuan memimpin sehingga menjadi” Bapak bagi anak-anaknya”.

Allah SWT berfirman dala surat Al Baqarah ayat 269;

“Allah menganugrahkan hikmah kepada siapa yang dikehendaki-NYa dalam barang siapa yang dianugerahi hikmah, ia benar-benar telah dianugerahi karunia yang banyak. Dan hanya orang-orang yang berakallah yang dapat mengambil pelajaran”
Hikmah dalam ayat tersebut berate kebaikan yang banyak, yang dianugerahkan Allah SWT kepada seseorang sehingga dirasakan manfaatnya, baik oleh dirinya sendiri.,keluarga, masyarakat, nusa,bangsa, agama dan juga alam semesta. Ayat tersebut menjelaskan pula bahwa orang yang banyak kebaikannya itu termasuk kelompok cendikiawan atau ulil albaab.
Kecendikiawanan seseorang itu hanya ditentukan oleh ilmunya yang banyak, tetapi juga oleh kebaikan-kebaikan dari ilmu yang dimiliki seseorang . Demikian pula halnya dengan pemipin yang memiliki hikmah. Dari kepemimpinannya itu dapat dirasakan kebaikan, kemaslahatan da keadilan oleh masyarakat yang dipimpinnya.
Paling tidak terdapat tiga ciri pemimpin yang memiliki hikmah, sebagaimana dijelaskan para ulama ketika menafsirkan ayat 269 surat Al – Baqarah tersebut diatas, yaitu: Pertama kasrotun ilmi , maksudnya memiliki berbagai macam pengetahuan. Dianataranya ilmu yan berkaitan dengan keahlian tertentu, juga ilmu-ilmu humaniora, misalnya teknik berkomunikasi dan psikologi massa. Mampu mengendalikan diri dari hidup mewah di saat masyarakat sedang mengalami berbagai macam kesulitan hidup
Kedua kasrotun hilmi: memiliki kesabaran dan kedewasaan yang matang, tidak mudah mengeluh dan tidak mudah orang lain. Pemimpin yang memiliki hikmah justru akan menjawab dan membalas setiap ketidakbaikan dengan kebaikan, Kritik, hujatan dan cemoohan di balas dengan mawas diri dan kerja keras untuk membuktikan ketidakbenaran atas kritik, hujatan dan cemoohan tersebut.
Ketiga kasrotun unah memiliki kehati-hatian dan kewaspadaan, baik dalam ucapan , sikap maupun tindakan. Ucapannya terukur, jelas dan gamblang. Sikapnya simpatik terhadao masyarakat yang hetrogen. Demikian pula tindakannya selalu memperhatikan kemaslahatan dan kemanfaatan bagi masyarakat yang dipimpinnya. Semualarut dan menyatu dalam kepribadiannya yang utuh dan tangguh
Pada saat bangsa kita sekarang ini sedang menghadapi berbagai persoalan kehidupan yang kompleks dan berat, keberadaan pemimpin yang memiliki hikmah merupakan sebuah kebutuhan dan keniscayaan, agar harmonis kehidupan yang melahirkan ketenangan, ketentraman, aman, dan damai segera bisa diwujudkan.
Keteladanan pemimpin, baik dipusat maupun di daerah, yang ada di eksekutif, legislatif maupun yudikatif, menjadi dambaaan bagi rakyat yang dipimpin. Sebab satu teladan itu lebih efektif dari seribu nasehat.Dan lisan perbuatan itu lebih faseh dari pada lisan perkataan.
Satu contoh keteladanan dari Ali bin Abi Thalib menunjukan betapa keteladaanan itu sangat efektif menciptakan pranata sosial yang dicita-citakan.
Syahdan, pada suatu hari Aqil datang kepada Ali bin Abi Thalib , ia menyambut gembira kedatangan aqil sang kakak itum Ketika tiba waktu makan malam, Aqil tidak melihat apa apa diatas meja selain roti dan garam. Ia terkejut melihat kenyataan tersebut, karena kedatangannya untuk meminta bantuan kepada Ali demi menutupi utangnya, Ali berkata:”tunggu sebentar, aku akan ambilkan harta milikku”. Aqil mulai kesal dan berkata,” Bukankah Baiutul Mal ada di tanganmu? Mengapa engkau memberiku dari harta milikmu sendiri?” . Ali menjawa,”Kalau kau mau,ambilah pedangmu dan aku akan mengambil pedangku, lalu kita keluar bersama menuju ke kawasan Hairah yang di dalamnya terdapat pedang-pedang kaya, kita masuki rumah salah seorang dari mereka dan kita ambil harta kekayaannya”
Aqil menolak dan berkata,”Memangnya aku datang untuk merampok!”
Ali menjawab,”Mencuri harta ekayaan seorang dari mereka itu masih lebih baik dari pada engkau mencuri harta milik semua kaum muslim”
Demikianlah keteladanan kepemimpinan Ali bin Abi Thalib.
Untuk mencapai derajat yang tinggi dalam hal keteladanan, Allah SWT menganjurjan kepada kita untuk selalu berdoa,”Ya Tuhan kami, anugrahkanlah kepada istri-istri kami keturunan yang menjadi penenang hati bagi kami, dan jadikanlah kami imam bagi orang-orang yang bertaqwa,”(Qur’an Surat Al Furqan ayat 74)


Adapun maksud ”imam bagi orang orang yang bertaqwa”ialah menjadi teladan bagi mereka dalam hal kebaikan. Seseorang tidak akan bisa menjadi teladan yang baik bagi orang lain dan bertaqwa kepada Allah
Relevansi ketaqwaan dan kepemimpinan disini dijelaskan oleh obrahim An-Nakha’i bahwa orang yang bertaqwa tidak berhasrat meminta kepemimpinan kepad Allah, tetapi mengaharpkan teladan yang baik dariNYa Karena dengan keteladanaan kepemimpinan itu akan datang dengan sendirinya